Selasa, 17 Februari 2009

Dream

Waktu ku dengar suara dalam tidurku, dalam mimpiku. Suara yang diiringi binar kemuliaan, aku tahu.
Sudah terjawab, ya, sudah terjawab. Dan ketika suara itu berkata;
“Doamu dikabulkan, jadilah yang kau mau.”

Aku terbangun dan ku tahu hariku akan sangat, sangat indah.
Sampai saat ini aku hanya seorang pegawai kontrak sebuah proyek. Pekerjaan yang menyenangkan, namun begitu…tidak cukup.
Bayagkan, aku harus bisa membuat ayahku pensiun sehingga dia dan ibu bisa berkebun dengan tenang disebuah villa di tengah bukit seluas dua hektar.
Bayangkan, aku harus isa menyekolahkan adikku sampai gelar doktorat yang sangat ia inginkan.
Pekerjaanku yang sekarang memang menyenangkan namun…sangat tidak cukup.
Selama ini aku minta Tuhan agar aku diberi uang banyak, well USD 1,000,000.00 to be excat.
Dan aku tahu aku akan mendapatkannya.

Aku pergi ke sebuah mall, dekat mess temapat aku tinggal. Aku tahu waktunya sudah tiba, dan tempat itulah awal dari segalanya.
Kulihat sebuah keluarga, expatriate, mereka sedang menggendong bayi mereka, wah serasi sekali.
Sedang asyik mereka meninabobokan bayi mereka…
Seorang anak berlari keras, membentur sang ayah.

Tidak !
Bayi mereka terlempar!
Ini lantai tiga!

Bayi itu meluncur deras. Tanpa pikir panjang ku serbu bayi itu. Kuraih spanduk yang menggantung, kujadikan ayunan. Dan kuraih bayi itu.

Berhasil! Untunglah!

Bayi itu menangis, tapi ia selamat. Malaikat kecil itu.
Kedua orang tuanya menangis bahagia, menyelamatiku, berterima kasih padaku.
Orang banyak turut bertepuk tangan, menyelamatiku.
Aku pahlawan!

Aku jengah dengan semua itu…aku beranjak pergi.
Sang ayah menahanku. Ia mengajakku ke rumahnya yang besar dan indah. Wah andai aku yang tinggal di dalamnya.
Tak terkira rasa terimakasih keluarga itu, walau ku katakan kalau semua orang akan melakukan hal yang sama, mereka tetap berterimakasih. Baru kemudian aku mengetahui, setelah sepuluh tahun menanti, bayi ini anak pertama mereka, dan satu-satunya.
Tak lama kemudian sang ayah menyelipkan amplop kecil ke saku kemejaku, dan katanya terpatah-patah.
“Ini untukmu. Terimalah, dibanding nyawa anakku, ini tak ada artinya.”
Well, tidak baik menolak pemberian orang.
Kemudian kami berpisah. Wah aku tak tahu harus berbuat apa, malas kalau harus ke mall itu lagi, pasti masih heboh.
Di kamar mess ku, ditingkahi musik keras dan suara bising dari kamar sebelah, aku buka amplop tadi.

Apa ini? Hanya kertas?
Oh cek.
Tunggu? Cek? Sebuah Cek!
Tertulis; to gratify a life’s saver.
Oh Lord, no way…nominal ini!
One million United States’ Dollar

Yeeeehaaaa!

Aku tahan teriakku dalam hati, rahasia ini hanya untukku. At last, penantian panjangku berakhir.
Benar-benar hari minggu yang penuh kejutan, doa yang terkabul.
Harapan yang terpenuhi.
Siapa bilang Tuhan tidak menjawab doa?
Siapa bilang Tuhan tidak mendengar?
Siapa bilang Tuhan tuli?
Hari minggu memang harinya Tuhan.

Hallelujah!

Nah, nah tenang. Sekarang aku bisa melakukannya.
Ku telepon orang tuaku, ayahku tepatnya.
“Dad, minggu depan ambil cuti, ada masalah yang perlu diselesaikan”
“Ada apa?”
“Sampai senin.”
Senin itu kami berkumpul, well karena aku tidak mau dibilang sembrono, aku juga mengambil cuti. Alasanku? Acara keluarga. Penting! Hehe, gampang, kan?
Dan dimulailah.

“Dad, mom, lihat ini”
Kutunjukkan cek itu, dan, oh betapa inginnya aku mengabadikan expresi terkejut mereka. Kuceritakan kejadian di mall itu, dan mereka makin terngaga, ha ha ha.
“Sekarang begini, mom, dad. Ini yang akan aku lakukan”, lalu aku menyerahkan perhitungan yang telah aku buat;
USD 100,000.00 untuk perpuluhan
USD 500,000.00 di konversi ke IDR lalu didepositokan
USD 300,000.00 di depositkan dalam USD
Dan USD 100,000.00 di rupiahkan. Cash!

Ibuku angkat bicara,
“Ibu mengerti yang di atas, namun USD 100,000.00 ke rupiah?”
“Mom, nilainya sekitar satu milyar. Telepon orang villa idaman mommy. Tanya apa villanya masih ditawarkan untuk dijual. Beli saja, harganya sekitar lima ratus juta kan?”
“Sudah waktnya daddy pensiun, dan sudah waktunya kita sedikit berbahagia.”
Orang tuaku tersenyum. Bahagia rsanya.

Urusan di kampung halaman selesai. Villa itu milik keluargaku sekarang. Ayahku menyusun surat pengunduran dirinya. Adikku bisa melanjutkan pendidikannya.
Dan Aku bisa mengemudikan Wrangler jeep idamanku untuk bekerja.
Orangtuaku bertanya padaku untuk apa kendaraan kerja itu, aku jawab.
“Mom, biar bagaimana aku perlu kendaraan untuk belerja, rasanya sudah cukup aku berlari mengejar bis kota, berdesakkan, mempertaruhkan nyawa tiapkali aku bergantungan di pintu bi situ.”
“Kenapa tidak kau Bantu saja perkebunan kita? Lagipula sudah cukup uang yang kau dapat, jangan cari lebih lagi.’
“Bukan itu masalahnya. Karena keinginan dan dedikasiku aku dapat uang ini, dank arena itu pula aku ingin selesaikan kontrakku dengan perusahaan yang telah baik mau menerimaku. Aku ingin keluar sebagai pemenang, sebagai orang yang bekerja demi pekerjaan itu. Dan setelah habis kontrakku kita akan bekerjasama di perkebunan kita”, dan akhirnya aku dapat meyakinkan mereka.

Aku kembali ke metropolitan.
Kamarku masih bising, efek dari kamar sebelah.
Namun kini berbeda, jeepku nangkring megah, teman-teman messku hanya bisa ngiler, senang rasanya melihat liur mereka menetes-netes. Ha ha ha, suara bising itu tiba-tiba jadi pelan, ha ha ha!

Dan mulai besok aku pindah.
Ya, keesokan harinya dengan riang aku angkut barang-barangku dan pindah ke apartemen, tidak jauh dari wilayah messku. Yah aku tetap punya kenangan di mess itu.
Dan sekarang semuanya beda…,sedikitnya aku tak lagi merasa rendah, aku dapat hidup cukup, aku bukan lagi kerja untuk cari uang. Maka hasil kerjaku benar-benar menjadi lebih bersih dan baik. Tak ada pikiran macam-macam dan hasilnya jadi lebih sempura dan teliti.
Ah indahnya dunia.

Dan minggu berikutnya, aku buat kejutan lagi untuk keluargaku. Aku temui mereka di villa.
Aku masak buat mereka. Apa yang ku buat?
Well untuk sarapan aku buaykan mereka Club Sandwich kalkun sengan sup jagung nikmat.
Untuk makan siang aku buatan steak, dengan kentang dan sayuran. Lalu tuna asam manis, sup asparagus, dan pudding untuk penutup.
Lalu makan malam dengan schoutel nikmat, soup jamur, dan fish stick dengan thousand island, nikmat sekali.
Disajikan dengan cara mewah, dengan peralatan mewah dan bahan terbaik.
Akhirnya aku bisa ajak mereka berlibur. Christmas dan New Year’s eve di eropa yang romantis dengan salju yang indah.

Ya…hidup ini memang indah.

Di depan sebuah ruang isolasi rumah sakit jiwa, seorang dokter senior sedang memberikan penjelasan panjang lebar.
“Nah, sebagaimana dapat kalian lihat dan pelajari. Pasien kita, namanya Alex, mengalami masalah kejiwaan berat diakibatkan keinginanya akan kemewahan yang terlalu mencengkeramnya. Ia mengalami ilusi dan ahlusinasi, dan ia tidak mau keluar dari dunia khayalannya. Alex kaya di sana.”
Alex tak menyadari itu semua, ia duduk di tepi ranjang dengan straight jacket terpasang. Tubuhnya mengayun ke depan dan belakan mengikuti arus khayalannya.
Rombongan mahasiswa psikologi mempelajarinya, mengamatinya dan menjadikannya bahan tulisan riset.

Betrayal

“Hallo, Anne, apa kabar?”
“Ho! Masih ingat aku?”
“Ja…jangan begitu Anne, aku tahu, aku sudah tiga bulan tidak menghubungi. Aku…”
“Kenapa? Aurus saja pekerjaanmu! Lanjutkan mempertaruhkan nyawamu!”
“Anne, tunggu…”
Suara denging mengiring bantingan telepon di ujung sana.

Darn.
Kasus keparat. Berbulan-bulan aku terjebak.
Ferret.
Musang bajingan. Sosok misterius yang menggegerkan dunia kriminal dan intelejen.
Penjual informasi, playboy, dan beragam reputasi buruk lainnya.

Sial!
Sudah tiga bulan aku kejar dia.
Bener-benar musang. Setip aku dapat jejaknya, dia kabur.
Letih.
Lelah.

Sebuah tepukan di bahuku menyadarkan aku.
Andrew.
Andrew team leaderku, mentorku.
“Lelah?”
“Ya. Kasus ini membuatku frustasi. Ferret ini benar-benar membuatku gila!”
“Hey, sabar, jangan emosi. Ingat, kau yang terbaik yang pernah aku ajar. Kamu pasti bisa.”
Kami bercaka-cakap sedikit lebih lama, lalu Andrew pamit padaku.
“Andrew…titip surat ini untuk Anne, katakana aku cinta dia.”
“Tentu sobat, tentu.”
Ah, kini aku sedikit tenang. Aku tahu Andrew dapat diandalkan. Ia selalu jadi penengah bila kami, aku dan Anne, bermasalah.
Ah. Seharusnya Anne…
Ah tidak.
Kasus keparat!

“Hallo? Anne!”
“Bye…”
“Tunggu…,jangan tutup dulu teleponya, please.”
Hening
“Anne tolong mengerti aku, ini kasus terakhirku. Setelah in aku pension, kita bisa bersama…”
“Sudahlah jangan janji. Ingat dulupun kamu pernah bilang begitu, dan lihat apa jadinya? Kamu nyaris tewas. Bodoh!”
“Dan aku salah Anne, aku salah. Tapi bagaimana lagi? Perintah langsung dari Jendral Besar. Tak mungkin aku tolak.”
“Dan,” sergah Anne, “Kalau kau mati, Jendralmu mau apa? Mau ganti nyawamu? Aku tidak mau menikah dengan calon mayat. Titik!”
Denging kembali terdengar

Sebenarnya aku bisa saja menolak perintah ini. Aku sudah menyapkan surat pengunduran diri, namun kalau sampai Jendral sendiri yang memohon…
Ini yang terakhir. Ia setuju.
Ah, letih sekali.
Sudah berapa lama? O, ya, sudah tiga tahun.
Musang keparat, siapa dia sebenarnya?

Sebuah suara mengejutkanku
“Hai.”
Andrew.
Kupalingkan wajah, dia nampak makin gagah saja.
Ya, semenjak keberhasilannya mengungkap jaringan spionase terbesar di negeri ini, ia dipercaya menjadi kepala intelejen.
Ia tak perlu lagi bertaruh nyawa.
Ia cocok untuk…

“Anne baik-baik saja, kemarin kami bertemu dan…”
Ah. Nama itu.
Tak lagi ku dengar sisa perkataan Andrew, nama itu membuatku lunglai.
“He. Kamu kenapa?”
Aku terkejut, ku lihat Andrew prihatin.
“Aku tahu kamu lelah, namun aku tahu kamu bisa…ini ada sedikit info tentang Ferret.”
Dan Anne tersisihkan. Kami serius.
Kali ini jaringku akan ku buat rapat.
Mampus kau Ferret

Sial!
Bikin frustasi! Bajingan itu lolos lagi.
Nyaris aku mendapatkannya.
Namun aneh? Musang ini seperti tahu rencanaku, tahu pergerakanku.
Aku frustasi.
Aku obrak-abrik kamar yang ditinggalkan bajingan itu, dan…
Sepucuk surat, kuambil, kubaca, kutertegun.
Bajingan!

Setelah peristiwa itu tiga tahun aku menghilang, aku pergi mengumpulkan bukti, membalik semua pola pikir, kuremas setiap tetes informasi.
Aku harus yakin. Aku harus pasti.

Masa pencarian yang melelahkan. Seingatku ‘maut’ sudah menjadi nama tengahku.
Tiap informasi mengorbankan banyak nyawa, minimal cacad seumur hdup.
Aku makin ganas.
Dunia kegelapan, dunia malam memanggilku iblis dari neraka.
Pembawa maut!
Namun, tahun-tahun pencarian ini akhirnya berakhir.
Waktunya balas dendam.
Ferret! You are mine!

Di gereja itu
Sepasang insan sedang berbahagia, proses pernikahan mereka sedang berlangsung. Sang Pendeta membawakan liturginya.
“Di sini kita akan menyaksikan penyatuan dua manusia, maka bila ada yang berkeberatan….sampaikan sekarang atau selamanya diam.”
Keheningan
Kedua mempelai tersenyum.
Sang Pendeta melanjutkan.
“Baiklah…oleh karena itu, dengan kuasa yang diberikan Tuhan, aku nyatakan kalian…”
“Aku keberatan!”
Semua terdiam.
Semua tertegun.
Semua berbalik, melihat ke arahku.

“Andrew!” teriakku sambil berjalan menuju altar.
“Atas nama hukum, kamu ditahan atas tuduhan penghianatan, pembunuhan dan perencanaan penghancuran Negara!”
Kulemparkan tumpukan bukti ke arahnya, termasuk sepucuk surat yang membuka rahasia.
Surat Anne untuk Ferret.

Andrew menerjangku. Kami bertarung.
Ia memang mentorku
Ia memang guruku
Namun, karena dia, aku ditempa jadi lebih kuat.
Lebih keras.
Lebih brutal.

Pengecut.
Andrew menangkap Anne dan menjadikannya tameng. Diacungkannya sepucuk pistol ke kepala Anne.
“Biarkan aku pergi, atau dia mati. Wanita yang kau cintai.”
Aku terdiam
Senjataku terarah ke dada Anne.
“Seharusnya kau ikut aku, kita bisa dapat uang banyak. Kita akan kaya dan berkuasa. Berdua kita dapat menguasai dunia.”

Aku tetap diam. Senjataku tetap terarah ke dada Anne. Andrew kesal akan kebisuanku.
“Tembak! Ayo! Tembak kalau kau berani!”
Aku tersentak
“Hah, aku tahu kau tak akan mampu. Bodoh! Kau akan dapat wanita yang jauh lebih cantik dari pelacur ini. Kau tahu? Dengan sedikit rayuan pelacur ini memberikan seluruh tubuhnya untukku, memberikan seluruh kelemahanmu padaku. Kau harusnya dapat yang lebih baik.”
Tanganku bergetar
Anne menangis.
Andrew tertawa.
“Ayolah, mari kita pergi, kita taklukkan dunia.”

Dan itulah kalimat terakhir.
Pistolku menyalak.
Mereka berdua roboh.
Kuhampiri Andrew yang sekarat, tak sedikitpun kulirik mayat Anne.
Kulihat wajah tak percaya Andrew dan

Dor!

Berita dimuat disemua media.
“Penghianat sudah dimusnahkan. Negara aman!”
Ruang Kepala Biro Intelejen
“Sudah tetap keputusanmu Alex?”, kata pejabat sementara kepala biro sambil memegang surat pengunduran diriku.
Aku diam
“Kami akan kehilangan kamu. Selamat jalan Pahlawan.”
Aku keluar dari kantor itu, diiringi salut seluruh biro.
Aku hanya diam

Dan pergi jauh.

Empty

Diam terduduk, di sini di hadapan lembaran-lembaran kosong putih. Terus terang aku heran, bingung, dan benci.
Lembaran-lembaran itu menantangku. ‘Isi kami’ seru mereka. Tapia pa yang ku bisa? Lembaran-lembaran itu tetap bersih tak tersentuh.
Sekilas kulihat ke kolong meja. Banyak sampah bertebaran.
Banyak kertas penuh coretan yang kubuang. Namun di antara coretan-coretan itu, lembaran-lembaran itu tetap bersih!

Apa yang salah, pikirku.
Kenapa tetap bersih? Kenapa tetap polos?
Ketika kurasa kalau aku mampu untuk menuangkan sesuatu di atas lembaran-lembaran itu, yang terjadi hanya kata-kata yang tertunda, yang untuk akhirnya, terbuang.

Lalu, apa yang kurang?
Imajinasi?
Ah, aku rasa idak. Imajinasiku meluap melebihi samudera, menjulang melebihi gunung. Setiap saat aku mampu memikirkan ide-ide baru, cerita-cerita baru, kisah-kisah baru. Namun, kenapa lembaran-lembaran itu tetap kosong?
Ketika ku katakn aku mampu menuangkan ciptaanku dalam lembaran itu, pada saat itu pula penaku tergantung di atas lembaran-lembaran kosong tersebut. Tinta-tinta itu menetes, menodai lembaran-lembaran kosong di hadapanku.
Sial, pikirku sambil kurema lembar itu dan kugabungkan ia dengan rekan-rekannya, karya gagal di kolong meja.

Apa yang salah?
Ketika ku ingin bercerita tentang kisah cinta. Aku bercerita tentang kisah cinta. Au bisa membayangkan bagaimana karakterku saling bercengkrama. Bercinta kudus.
Tetapi mengapa penaku selalu menggantung ketika aku hendak menuliskannya? Dan ada kalanya aku ingin menulis tentang sebuah epik, suatu keindahan kolosal. Namun entah mengapa, selalu saja terhenti.

Aku selalu berkata pada diriku, ‘kamu bisa menuliskan itu’. ‘Tulislah! Kamu mampu’. ‘Lihatlah, berapa banyak topik, kisah, aksara yang dapat kau ungkapkan dengan tulisanmu’. Tetapi tetap. Yang kulihat di hadapanku tak lebih dari lembaran-lembaran kosong, putih bersih, menggodaku.
‘Teruslah berusaha’, paksaku pada diriku sendiri. ‘Bisa! Kamu pasti bisa. Ingat, kamu yang terbaik’. Aku terus desak diriku, dan kupikir, why not?

Dengan setumpuk keyakinan kunaikkan penaku.
Akan ku exploitasi Tuhan, pikirku. Bila ku takmampu mencipta drama, bila sulit ku berekpresi. Maka akan ku tulis syair cipta tentang Tuhan.
Dan bahkan penaku tak bisa menyentuh lembaran itu.
Rasa takut akan kegagalan, takut akan hujat, cela, kritik. Semuanya menghantuiku.
Bisakah aku mencipta karya dunia? Dapatkah aku membuat dunia menilai sempurna?

Ha ha ha!
Sempurna?
Mungkin itu sumber permasalahannya.
Apakah kesempurnaan itu? Bisakan aku meraih kesempurnaan?
Kurasa, memang itulah permasalahannya. Karena aku ingin mencipta karya besar, membuat dunia menyanjungku, maka aku berusaha agar karyaku menjadi agung. Aku ingin tiap kata yang tertulis, tiap makna yang tersurat dan tersirat menjadi panduan tiap manusia yang membacanya.
Yang aku ingin ternyata adalah, agar setiap orang terpesona akan ciptaku, menyadari bahwa aku besar.
Yah mungkin karena selama ini aku merasa bahwa aku tidak dihargai. Opiniku mati. Maka sedikit dendam menyebabkan aku jadi begini Bahwa hanya kesempurnaan yang mampu mengatasi semua..

Aku lupa. Kesempurnaan hakiki adalah milik Tuhan semata.
Tapi terkadang bukan aku lupa, tapi memang aku tak mau tahu akan hal itu. Yang aku harapkan aku bisa sempurna. Tiap huruf, titik, maupun koma harus ada pada tempatnya.
Mungkin juga lupa akan kisah-kish yang sering kubaca, kulihat, kudengar, kurenungan.
Pernah ku baca pada sebuah buku, di antaranya pernah memberikan penjlasan mengenai kesempurnaan manusia. Sang pengarang menggambarkan kesempurnaan melalui cawan teh; cawan teh yang tidak bercacad justru tidak sempurna.

Aku heran, apa maksudnya. Kucoba pahami, lalu aku sadar akan diri sebagai manusia yang tak lepas dari ketidaksempurnaan. Bahwa dalam ketidaksempurnaan, justru kita menjadi sempurna sebagai manusia. Di mana kita justru harus terus berusaha mencari kesempurnaan hakiki.
Kemudian kupandangi lembaran-lembaran kosong itu kembali.
Memang benar, akibat aku terlalu berharap akan kesempurnaan maka lembaran-lembaran itu tetap kosong hingga saat ini, tak ternoda.

Tapi tak juga bisa kulawan keinginan untuk mencari kesempurnaan sebelum berkarya dan bukan sebaliknya, di mana pada saat kit berkarya, kita menciptakan kesempurnaan. Di mana dengan begitu banyak komentar akan karya kita, maka kita akan disempurnakan.

Lalu mengapa tak bisa?
Karena sahabatu! Orientasi awalku adalah alas an tertua di dunia.
Uang!

Bukankah demikian? Coba perhtikan, kesempurnaan berarti banyak penghargaan, pujian. Dan hal itu berarti banyak pembeli, banyak uang.
Aku sendiri telah diingatkan, bila kita melakukan apapun demi uang, maka pekerjaan justru tidak akan berhasil dengan baik.
Memang ada benarnya, setelah kupikir. Aku jadi terpaku pada kesempurnaan untuk mendapatkan banyak uang.

Aku berharap untuk menciptakan suatu kisah kolosal yang pada akhirnya memberiku banyak uang. Aku terpaku pada pengarang Gone with in the Wind, yang ku tahu hanya menerbitkan satu buku. Dan laku keras!
Namun apa yang ku hadapi?
Hanya tumukan lembaran-lembaran kosong yang sering ku remas, kuremuk, kurobek, dan pada akhirnya kubuang.
Aku lupa bahwa hanya akan ada satu Gone with the Wind.

Tapi mungkin kekeraskepalaanku membuat aku melupakan beberapa pengarang yang justru mendapatkan kesempurnaan, sebuah best seller, setelah berkarya puluhan bahkan ratusan kali.
Keinginan untuk jadi besar, mewah, sempurna, ditambah godaan uang membuat tumpukan remasan lembaran kosong makin bertumpuk.
Akhirnya hanya ada satu kenyataan.
Lembaran itu akan tetap kosong untuk selamanya. Selama aku tak berubah dan menyerah. Menyerah untuk mengetahui dan menyadari, dan lalu mengatakan; aku hanya manusia biasa, aku tidak sempurna.
Mungkin, mungkin…
Mungkin bila aku pada akhirnya menyerah, maka lembaran itu akan terisi dengan sendirinya, dan terciptalah karyaku.

Tamat