Selasa, 17 Februari 2009

Empty

Diam terduduk, di sini di hadapan lembaran-lembaran kosong putih. Terus terang aku heran, bingung, dan benci.
Lembaran-lembaran itu menantangku. ‘Isi kami’ seru mereka. Tapia pa yang ku bisa? Lembaran-lembaran itu tetap bersih tak tersentuh.
Sekilas kulihat ke kolong meja. Banyak sampah bertebaran.
Banyak kertas penuh coretan yang kubuang. Namun di antara coretan-coretan itu, lembaran-lembaran itu tetap bersih!

Apa yang salah, pikirku.
Kenapa tetap bersih? Kenapa tetap polos?
Ketika kurasa kalau aku mampu untuk menuangkan sesuatu di atas lembaran-lembaran itu, yang terjadi hanya kata-kata yang tertunda, yang untuk akhirnya, terbuang.

Lalu, apa yang kurang?
Imajinasi?
Ah, aku rasa idak. Imajinasiku meluap melebihi samudera, menjulang melebihi gunung. Setiap saat aku mampu memikirkan ide-ide baru, cerita-cerita baru, kisah-kisah baru. Namun, kenapa lembaran-lembaran itu tetap kosong?
Ketika ku katakn aku mampu menuangkan ciptaanku dalam lembaran itu, pada saat itu pula penaku tergantung di atas lembaran-lembaran kosong tersebut. Tinta-tinta itu menetes, menodai lembaran-lembaran kosong di hadapanku.
Sial, pikirku sambil kurema lembar itu dan kugabungkan ia dengan rekan-rekannya, karya gagal di kolong meja.

Apa yang salah?
Ketika ku ingin bercerita tentang kisah cinta. Aku bercerita tentang kisah cinta. Au bisa membayangkan bagaimana karakterku saling bercengkrama. Bercinta kudus.
Tetapi mengapa penaku selalu menggantung ketika aku hendak menuliskannya? Dan ada kalanya aku ingin menulis tentang sebuah epik, suatu keindahan kolosal. Namun entah mengapa, selalu saja terhenti.

Aku selalu berkata pada diriku, ‘kamu bisa menuliskan itu’. ‘Tulislah! Kamu mampu’. ‘Lihatlah, berapa banyak topik, kisah, aksara yang dapat kau ungkapkan dengan tulisanmu’. Tetapi tetap. Yang kulihat di hadapanku tak lebih dari lembaran-lembaran kosong, putih bersih, menggodaku.
‘Teruslah berusaha’, paksaku pada diriku sendiri. ‘Bisa! Kamu pasti bisa. Ingat, kamu yang terbaik’. Aku terus desak diriku, dan kupikir, why not?

Dengan setumpuk keyakinan kunaikkan penaku.
Akan ku exploitasi Tuhan, pikirku. Bila ku takmampu mencipta drama, bila sulit ku berekpresi. Maka akan ku tulis syair cipta tentang Tuhan.
Dan bahkan penaku tak bisa menyentuh lembaran itu.
Rasa takut akan kegagalan, takut akan hujat, cela, kritik. Semuanya menghantuiku.
Bisakah aku mencipta karya dunia? Dapatkah aku membuat dunia menilai sempurna?

Ha ha ha!
Sempurna?
Mungkin itu sumber permasalahannya.
Apakah kesempurnaan itu? Bisakan aku meraih kesempurnaan?
Kurasa, memang itulah permasalahannya. Karena aku ingin mencipta karya besar, membuat dunia menyanjungku, maka aku berusaha agar karyaku menjadi agung. Aku ingin tiap kata yang tertulis, tiap makna yang tersurat dan tersirat menjadi panduan tiap manusia yang membacanya.
Yang aku ingin ternyata adalah, agar setiap orang terpesona akan ciptaku, menyadari bahwa aku besar.
Yah mungkin karena selama ini aku merasa bahwa aku tidak dihargai. Opiniku mati. Maka sedikit dendam menyebabkan aku jadi begini Bahwa hanya kesempurnaan yang mampu mengatasi semua..

Aku lupa. Kesempurnaan hakiki adalah milik Tuhan semata.
Tapi terkadang bukan aku lupa, tapi memang aku tak mau tahu akan hal itu. Yang aku harapkan aku bisa sempurna. Tiap huruf, titik, maupun koma harus ada pada tempatnya.
Mungkin juga lupa akan kisah-kish yang sering kubaca, kulihat, kudengar, kurenungan.
Pernah ku baca pada sebuah buku, di antaranya pernah memberikan penjlasan mengenai kesempurnaan manusia. Sang pengarang menggambarkan kesempurnaan melalui cawan teh; cawan teh yang tidak bercacad justru tidak sempurna.

Aku heran, apa maksudnya. Kucoba pahami, lalu aku sadar akan diri sebagai manusia yang tak lepas dari ketidaksempurnaan. Bahwa dalam ketidaksempurnaan, justru kita menjadi sempurna sebagai manusia. Di mana kita justru harus terus berusaha mencari kesempurnaan hakiki.
Kemudian kupandangi lembaran-lembaran kosong itu kembali.
Memang benar, akibat aku terlalu berharap akan kesempurnaan maka lembaran-lembaran itu tetap kosong hingga saat ini, tak ternoda.

Tapi tak juga bisa kulawan keinginan untuk mencari kesempurnaan sebelum berkarya dan bukan sebaliknya, di mana pada saat kit berkarya, kita menciptakan kesempurnaan. Di mana dengan begitu banyak komentar akan karya kita, maka kita akan disempurnakan.

Lalu mengapa tak bisa?
Karena sahabatu! Orientasi awalku adalah alas an tertua di dunia.
Uang!

Bukankah demikian? Coba perhtikan, kesempurnaan berarti banyak penghargaan, pujian. Dan hal itu berarti banyak pembeli, banyak uang.
Aku sendiri telah diingatkan, bila kita melakukan apapun demi uang, maka pekerjaan justru tidak akan berhasil dengan baik.
Memang ada benarnya, setelah kupikir. Aku jadi terpaku pada kesempurnaan untuk mendapatkan banyak uang.

Aku berharap untuk menciptakan suatu kisah kolosal yang pada akhirnya memberiku banyak uang. Aku terpaku pada pengarang Gone with in the Wind, yang ku tahu hanya menerbitkan satu buku. Dan laku keras!
Namun apa yang ku hadapi?
Hanya tumukan lembaran-lembaran kosong yang sering ku remas, kuremuk, kurobek, dan pada akhirnya kubuang.
Aku lupa bahwa hanya akan ada satu Gone with the Wind.

Tapi mungkin kekeraskepalaanku membuat aku melupakan beberapa pengarang yang justru mendapatkan kesempurnaan, sebuah best seller, setelah berkarya puluhan bahkan ratusan kali.
Keinginan untuk jadi besar, mewah, sempurna, ditambah godaan uang membuat tumpukan remasan lembaran kosong makin bertumpuk.
Akhirnya hanya ada satu kenyataan.
Lembaran itu akan tetap kosong untuk selamanya. Selama aku tak berubah dan menyerah. Menyerah untuk mengetahui dan menyadari, dan lalu mengatakan; aku hanya manusia biasa, aku tidak sempurna.
Mungkin, mungkin…
Mungkin bila aku pada akhirnya menyerah, maka lembaran itu akan terisi dengan sendirinya, dan terciptalah karyaku.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar